TEMPO.CO, Jakarta - Umat muslim, menurut Kiai Haji Masurur Ahmad, pengasuh pondok Pesantren Al-Qodir, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, boleh merayakan Imlek, tahun baru Cina. Asalkan tidak melenceng dari akidah dan syariat Islam.
"Perayaan Imlek sudah menjadi tradisi dan budaya. Seperti orang Islam merayakan tahun baru Hijriah, Isra Miraj, dan maulid nabi," kata Masrur, Senin, 4 Februari 2013.
Peringatan hari raya Imlek 2564 di Indonesia jatuh pada 10 Februari 2013 mendatang. Masyarakat Tionghoa banyak yang merayakan tahun baru Cina itu dengan berbagai acara. Selain peribadatan di kelenteng, digelar peristiwa budaya. Misalnya, pawai barongsai dan kebudayaan Cina.
Perayaan Imlek memang selalu ramai di penjuru dunia. Terutama di negara yang banyak masyarakat Tionghoanya. Seperti di Yogyakarta yang juga sering digelar acara-acara budaya Tionghoa saat peringatan Imlek.
Sehingga Imlek merupakan peristiwa budaya yang siapa saja bisa mengikuti dan merayakannya. Sebab, tradisi Tionghoa adalah tradisi masyarakat Cina, terlepas dari agama apa pun.
Masrur menyatakan, perayaan-perayaan semacam itu merupakan tradisi atau budaya. Kalau di masyarakat Islam, tradisi itu diharapkan untuk mengenang dan meningkatkan rasa keimanan.
Sehingga perayaannya tidak mesti dengan pesta yang meriah, tetapi dengan pengajian, atau kegiatan yang sifatnya keagamaan. Maka peringatan itu tidak dilarang.
Namun, ia menyatakan selama perayaan itu tidak melanggar syariat Islam, tetap diperbolehkan. Tetapi jika perayaan itu sifatnya melanggar ajaran agama, tentu saja hukumnya berbeda.
Hal serupa dikatakan oleh Kiai Haji Abdul Muhaimin, Ketua Forum Kerukunan Umat Beriman Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat muslim sangat dibolehkan mengikuti perayaan Imlek. Namun, juga harus tetap menjaga keimanan.
Bahkan saat PITI (Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia) mau menyelenggarakan perayaan Imlek di masjid dan ditentang oleh banyak orang, Abdul Muhaimin yang juga pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede, Yogyakarta mempersilakan perayaan di pondoknya.
"Itu kan tradisi orang Tionghoa memperingati pergantian musim, asal bisa menjaga akidah dan norma agama, silakan saja," kata dia.
Persepsi tentang Cina yang salah kaprah di Indonesia sejak zaman Soekarno hingga Soeharto saat ini sudah tidak ada lagi. Saat Presiden Soekarno jelas masalah ideologi. Pada zaman Presiden Soeharto adalah masalah ekonomi.
Rifki Derian Prabowo
Cari Blog Ini
Diberdayakan oleh Blogger.
Radio
Dapatkan info terbaru via Facebook. Silahkan klik LIKE / SUKA.▼
▼
Powered By Blogger Widgets and Blogger Tutorials
Jumat, 08 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dapatkan info terbaru via Facebook. Silahkan klik LIKE / SUKA.▼
▼
Powered By Blogger Widgets and Blogger Tutorials
0 komentar:
Posting Komentar
Saya tidak online 24 Jam dan hanya sendiri mengurus blog ini, mohon maaf bila komentar anda tidak di balas.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA, dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Komentar hanya Thanks, Mantap, Pertamax, dll. Tidak akan di tampilkan